Rasa
takut menyelimuti jiwa-jiwa yang berada di dalam ruangan yang amat
sangat gelap dengan setitik cahaya dari kejauhan yang menjadi naungan
kami untuk bisa melangkahkan kaki. Suara riuh dan gaduhpun menegangkan
setiap raga kami, berbekal mata hati yang menuntun kami untuk terus
melangkah berdesakan diantara ribuan manusia. Dan kini tubuhku telah
bermandikan keringat, sepasang kaki yang terus berjalan mulai tak
bersahabat.
“Aku lelah, berapa mil lagi cahaya itu di depan mata kita” keluhku
“Entahlah Akupun merasakan apa yang kamu rasakan”sahut Zhania
Ketika
aku dan teman-temanku mulai mempercepat laju kaki salah satu dari kami
melepaskan genggamannya, dia tak sanggup bedesakan diantara ribuan
manusia dan dia memutuskan untuk mengakhiri permainan ini.
“Kirai, kenapa?”tanya Tia
“Aku memilih mundur, permainan macam apa ini. Kita bisa mati diinjak ribuan kaki mereka”kata kiran emosi. Dan kami yang mendengar ucapan kirai tidak bisa berbuat apa-apa. Dan akhirnya kami mengikhlaskan kemunduran kirai.
Kulihat
cahaya itu semakin kecil seakan ia akan redup dan tanpa peduli berapa
banyak manusia yang belum mencapainya. Dengan sisa tenaga yang kami
miliki cahaya redup itu kami kejar, berlari terus melaju tanpa peduli
kaki ini mengiba untuk berhenti. Kami tidak peduli berapa banyak manusia
yang kami terobos dengan kasar.
“Cahaya itu harus kita dapatkan jangan menyerah teman-teman.” Teriak Zefa
Kami
tercengang tak percaya, kubuka lebar-lebar mata ini bahkan kedua
tanganku turut membantu mengisik kedua mataku yang tak lagi melihat
apapun. Cahaya itu padam, kami gagal mendapatkan cahaya pertama. Tidak
sedikit orang yang mendapatkan cahaya itu, mereka kembali dengan bekal
cahaya yang sangat berharga.
Di
dalam kegelapan kami berdelapan berjalan kesana kemari dengan harapan
adanya cahaya selanjutnya. Di dalam ruangan itu kami memikirkan seribu
macam cara agar kami bisa mendapatkan cahaya selanjutnya dengan cepat.
“Cahaya lagi.” Teriak salah seorang dari ribuan manusia itu. Dan mereka bergerak menuju arah kami, mereka berlalari dengan cepat dan siap menghadang apapun yang menghalanginya. Ketika aku alihkan pandangan kelawan arah ternyata cahaya itu tak jauh dari tempat yang kami hentakkan, dengan cepat kami menuju cahaya itu. seperti cahaya pertama cahaya ke-2pun sama, semakin mendekat cahaya itu semakin redup. Selangkah lagi kami mendapatkannya, cahaya itu nyaris lenyap di hadapan kami dengan kecepatan tangan liana dan zefa berserta ratusan orang lainnya cahaya itu berhasil mereka dapatkan, tapi tidak untuk aku dan kelima teman-temanku.
“Cahaya lagi.” Teriak salah seorang dari ribuan manusia itu. Dan mereka bergerak menuju arah kami, mereka berlalari dengan cepat dan siap menghadang apapun yang menghalanginya. Ketika aku alihkan pandangan kelawan arah ternyata cahaya itu tak jauh dari tempat yang kami hentakkan, dengan cepat kami menuju cahaya itu. seperti cahaya pertama cahaya ke-2pun sama, semakin mendekat cahaya itu semakin redup. Selangkah lagi kami mendapatkannya, cahaya itu nyaris lenyap di hadapan kami dengan kecepatan tangan liana dan zefa berserta ratusan orang lainnya cahaya itu berhasil mereka dapatkan, tapi tidak untuk aku dan kelima teman-temanku.
“Tuhan tidakkah kau berbelas kasihan pada kami”makiku dalam hati
Wajah Liana dan Zefa terlihat berseri-seri dengan cahaya yang mereka genggam mereka dekatkan didepan wajah mereka.
“Teman-teman Kami berhasil mendapatkan cahaya ini”ucap Liana.
Dengan
hati-hati mereka mengantungi cahaya itu, kami ikut senang dengan
keberhasilan liana dan zefa walaupun rasa senang yang kami rasakan tidak
sama dengan rasa senang yang liana dan zefa rasakan.
Kami
masih berdelapan untuk mencari cahaya ke-3, liana dan zefa masih tetap
bergabung bersama kami untuk sama-sama mendapatkan cahaya berikutnya.
“Ruangan ini semakin sesak saja”Keluh Vita.
“Bagaimana
tidak sesak, jumlah kami bertambah banyak. Orang-orang terdahulu yang
tidak mendapatkan cahaya di zamannya kini kembali bergabung bersama
kami.”
Cahaya
ketiga berbeda dengan cahaya sebelumnya pancaran yang dipancarkan
cahaya itu menerangi setiap penjuru ruangan ini, penglihatan yang sedari
tadi gelap dibuat silau olahnya dan dapat kami lihat hamparan manusia
dengan jelas. Ribuan mata manusiapun mulai mencari titik pusat cahaya
yang terang menderang itu. Kami berjalan pasti mengarungi setiap penjuru
ruangan yang sesak itu.
Tibalah
ribuan manusia itu dititik pusat cahaya ketiga. Perlahan genggaman
tanganku dan teman-temanku terlepas satu sama lain, baru kusadari untuk
mencapai cahaya itu penuh dengan
teka-teki gila. Jika aku melangkah dengan benar maka satu langkahku
sama dengan empat kali aku melangkah, dan apabila salah maka aku akan
selangkah menjauh dari titik pusat itu. Keberadaan aku dan teman-temanku
mulai menjauh, aku terus melangkah tak peduli dengan kesalahan yang aku
perbuat.
“Tuhan berilah aku kesempatan untuk mendapatkan cahaya itu.”
Aku
telah terpisah jauh dengan teman-temanku entah dimana posisi mereka
saat ini. Dan aku tidak dapat melangkah lagi semuanya kembali gelap
seperti semula.
“Gagal dan selalu gagal.”bentaku geram.
Aku
gagal seperti sebelumnya tuhan tidak ingin memberikan cahaya setitikpun
untukku. Aku tumpahkan air mata yang membendung ini. Aku menangis, ku
peluk raga ini dengan erat pupus sudah impianku selama ini. Dan sekarang
siapa yang harus aku salahkan. Doaku kah, usaha yang telah aku lakukan,
atau mungkin tuhan yang tak mendengar doaku selama ini. Langkahku mulai tak bertenaga kuhapus air mata yang membahasahi pipi ini, dan ku coba untuk tegar.
Aku
rapatkan kedua mataku, karna percuma saja jika kubiarkan sepasang mata
ini terus terbuka. Tak ada cahaya, maka tak ada keindahan dunia yang
dapatku lihat. Sontak tubuh ini berputar 900 saat sebuah
telapak tangan mendarat di pundakku. Pipi yang telah kering ini kembali
terbasahi, aku tak dapat menahan butiran-butiran air mataku berhamburan
keluar, saat dua oarang di hadapanku menggenggam cahaya ketiga. Zefa dan
zhaina, mereka menangis bahagia, mereka memeluku dengan penuh kasih
sayang. Setidaknya pelukan mereka sedikit mengobati pedih yang membalut
hati ini. Tidak lama kemudian teman-temanku yang lainnya menghampiri
kami.
Liana, zefa dan zhaina memutuskan untuk kembali dengan cahaya yang mereka dapatkan.
“Teman-teman kami harus kembali tetaplah semangat untuk mendapatkan cahaya ketiga”kata zefa
Sebelum
mereka beranjak pergi, mereka memeluk kami satu persatu. Ketika mereka
menjauh, kami mulai kehilangan mereka, dengan cepat aku memenggil dan
mengejar mereka, langkah merekapun terhenti.
“Ada apa tiara”sahut zefa.
“Aku ingin ikut kalian”kataku dan menghampiri mereka.
“Tanpa cahaya”zhaina menatapku meminta penjelasan
“Iya, aku lelah tak sedikitpun cahaya yang aku dapatkan”jawabku tegas.
Kemudian
zefa mengulurkan tangannya “Temanku genggamlah tanganku, kejaplah
sekejap matamu dan lihatlah cahaya telah menunggumu.”ku genggam erat
tangan zefa
Aku
hanya bisa menangis dalam kegelapan, teman-temanku mendengar isakanku
yang terasa pedih. Perlahanku lepaskan genggaman tangan zefa dan mereka
kembali melanjutkan langkahnya.
“Ayo tiara!”cathy menarik tanganku
“kita harus mendapatkan cahaya itu”lanjut tia.
Kami
berlima berlari menuju cahaya keempat, tanpa kami sadari kirai telah
berada disamping kami “kirai kamu masih disini?”kata dina dan membuat
kami terkejut.
“Aku tidak bisa hidup tanpa cahaya.”kirai memfokuskan pandangannya.
Langkah kami terhenti tepat didepan cahaya keempat, dengan tenang kami merih cahaya yang sederhana itu dengan mudah.
“Terima kasih tuhan”kataku bahagia.
Kupandangi
cahaya yang telahku dapatkan itu. Walaupun Cahaya itu tidak sebesar
cahaya yang liana, zefa dan zhania dapatkan Tapi aku yakin dengan
sendirinya cahaya itu akan membesar sebesar cahaya yang telah
teman-temanku dapatkan sebelumnya. Dan dengan cahaya itu aku dapat
menerangi jalan hidupku.
“Percuma saja aku bergantung pada cahaya kecil ini”suara dina terdengar merehkan.
“Tapi kenapa dina?”tanya vita tak habis pikir.
“Dari
awal kita berlari kesana-kemari dan berdesakan diantara ribuan orang
didalam kegelapan” dina menarik nafas “Tapi apa yang kita dapatkan hanya
sebuah cahaya kecil”lanjut dina
Kami menatap wajah dina yang terlihat kecewa
“Perjalanan
yang sangat melelahkan ini tidak selalu berbuah manis, sulit memang
menerima balasan tuhan yang tidak sesuai dengan harapan kita, perjuangan
kita, rasa lelah, letih. Tapi semua itu tidak akan terasa jika kita
menerimanya dengan ikhlas din.”kataku sedikit emosi.
“Maaf teman-teman aku tidak membutuhkannya”dina menyunggingkan senyumnya dan melangkah pergi.
jalan menuju pendidikan
BalasHapus