Aku
terbangun dari tidur yang baru sajaku mulai.
“Tidakkan
seseorang di luar sana mengerti akan arti sopan santun”
Langsungku hampiri
sumber suara yang sangat mengganggu malam dan tidurku, Seseorang yang akan
bertamu di malam hari. Mata yang setengah tertutup ini dituntut untuk
mengiringi langkah kaki yang tak sempurna. Ku urungkan niat untuk membukanya,
saat ganggang pintu terasa dingin di telapak tanganku. Jarum jam masih
menunjukan pukul 03.00 dini hari dimana sebagin besar penghuni kota ini masih
terlelap tidur, mataharipun enggan membagi sinarnya walau ayam jago di seberang
rumahku telah berkokok.
Rumahku tak semegah istana presiden, dengan pondasi
seadanya rumahku dapat berdiri kokoh dengan luas tak lebih dari 6 x 11 meter
luasnya. Rumah sederhana ini dapat melindungi aku dari trik matahari, derasnya
hujan badai, dan gelapnya malam tak berbintang. Tapi baru kusadari rumahku tak
dapat melindungi aku dari suara gaduh yang menghantam daun pintu rumahku.
Kubuka sedikit tirai jendela yang
bercorak burung bangau terbang itu. Dan tidak kudapati seorangpun disana.
Semilir
angin malam membelai lembut bulu kuduk yang tegak berdiri
“Mungkin
ia bosan menunggu. dasar orang iseng penganguran”gumamku menjernihkan pikiran
yang semeraut.
Dengan
gontai aku kembali ketempat tidur mungilku, ku jatuhkan tubuh rampingku diatas
sana. dan tak perlu berhitung satu, dua, dan tiga aku telah terjun kedunia
mimpi...
Satu jam.. dua jam.. “oh sialan..”
dering alarm mengembalikan ruhku kedalam jasad yang tak bertenega itu. Tanpa
mempedulikan alarm yang terus berdering, aku meruskan mimpi indah yang
bersambung.
Prakk!!! Hancurlah weker milikku
satu-satunya. Terpaksa aku harus segera bergegas turun dari tempat tidur
kesayanganku. Tepat pukul 06.00 pagi aku telah rapi dengan pakaian kulihku.
Ku pastikan pintu rumah telah terkunci
dengan benar, kuhirup udara pagi yang sangat segar. Langkah pertamaku terhenti
ketika seseorang yang tak asing lagi bagiku berdiri tegak di hadapanku.
“Ibu..
“kupeluk erat tubuh ibu
“kenapa
Ibu tidak memberi kabar terlebih dahulu?” ibu tersenyum lepas padaku
Tak
sabar rasanya menumpahkan semua keluh kesah selama 3 tahun berpisah dengan
keluarga di kampung halaman dan kini orang yang sangat berharga bagi hidupku
ada di hadapanku.
“sebentar
ya bu, Tiara ambilkan minum buat Ibu”
Kehadiran
ibu di sampingku membuatku nyaman. Rasa lelah yang seringku rasakan disetiap
waktu kini lenyap entah kemana.
Ketika
aku mengambil segelas air minum untuk ibu, sesuatu bergetar di saku jeansku.
Kuamati layar handphone yang terlihat usam dimataku, dengan riang ku jawab
panggilan dari Ayah
“ada
apa yah?”
Tubuhku
gemetar dan berkeringat, ku alihkan pandanganku perlahan, sulitku percaya tidakku
dapati Ibu disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar