Minggu, 15 Juni 2014

Menghormati Takdir

Telah aku tanamkan arti dari sebuah kata “penghormatan”. Kata-kata ibu selalu terngiang di telingaku.
“Hormatilah orang-orang yang telah berjasa bagimu nak”.
Dilihat dari kacamata orang tuaku, aku adalah anak penurut, anak yang selalu patuh akan semua perintah dan aku anak yang selalu tegar dan mengerti keadaan.
Ketidak cukupan ekonomi memaksaku untuk menggantungkan hidup dengan orang lain. “Aku harus menggapai cita-cita yang tinggi”, kemauanku untuk melanjutkan sekolah menegah ataspun sangatlah besar. Alangkah senangnya ketika salah seorang dari kerabatku menawari aku untuk sekolah di kota metropolitan Jakarta, tanpa berpikir panjang aku dan kedua orangtuaku setuju atas tawaran itu.
Disinilah aku mulai mengerti akan arti hidup yang sesungguhnya demi mengejar cita-cita yang luhur aku harus mengorbankan masa remajaku untuk ribuan pengetahuan yang siap menerpa otak kosongku, aku luruskan niat untuk masa depan yang aku idam-idamkan. kebutuhan lahiriahku di kota metropolitan ini terpenuhi dengan baik bahkan sangat baik jika dibandingkan dengan keadaan keluargaku.
Aku hidup dengan orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru negri ini. Mereka sama seperti diriku, mencari titik terang dari kehidupan yang fana ini. Kami hidup bersama didalam rumah besar diantara gedung-gedung pencakar langit. Dirumah besar inilah aku dan teman-temanku menjalani hidup yang biasa bahkan kehidupan yang luar biasa. Jarak antara aku dan keluargaku sangatlah tidak dekat, komunikasi yang terbatas kadang menjadi pemicu perang batin yang sering menjadi warna-warni kehidupanku. Kulakukan kegiatan positif untuk menghibur batinku, bahkan kualunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk mengobati rasa rindu. Tapi tetap saja tidak berpengaruh sedikitpun bagiku apalagi syair ataupun puisi.
Takdir yang telah tergaris mempersulit untukku menghembuskan nafas kepuasan. Saat kata penghormatan itu harus aku praktikan disini, di kota metropolitan yang aku pijaki ini. Sering aku menumpahkan air mata karna kegalauan hidupku, sering aku mendapatkan masalah dengan teman-temanku di tempat aku menuntut ilmu, bahkan sering aku mendapatkan perlakuaan tidak baik, dimusuhi oleh orang-orang yang aku hormati. Ingin sekali aku berteriak, ingin sekali aku obrak-abrik takdir ini, ingin sekali aku melepas beban berat yang selama ini aku pikul. Dunia ini memeng tidak adil aku harus menghormati dan menyayangi orang-orang yang sama sekali tidak menyayangi aku. Ingin di hargai tapi tak pernah menghargai aku, beruntung aku hidup di rumah besar ini mereka yang mengerti dan menyanyangi aku ditengah keadaan aku tersungkur.
Kepedihan hidupku selalu datang bertubi-tubi, selain dari kota metropolitan ini kepedihan juga datang dari keluargaku yang sangat aku hormati. Ayahku jatuh sakit, entah virus apa yang tega menembus raga ayahku sehingga ayah harus berhenti bekerja. Demi membiayai kedua adik-adikku yang masih duduk dibangku sekolah dasar dan menengah, terpaksa ibu yang harus menggantikan ayah banting tulang. Ia harus keliling kampung mendatangi satu-persatu rumah hanya untuk menawarkan masakan yang ibu buat di pagi buta, miris aku melihat keringat ibu mengalir diwajah keriputnya.
Apa guna aku hidup di dunia ini, jika kalau keberadaanku tidak berguna sedikitpun untuk mereka. Ingin aku mengukir senyum yang terindah diwajah mereka. Mungkin ditengah keadaan inilah aku harus belajar arti dari kata penghormatan yang sesungguhnya. Selain harus menghormati manusia, Tuhanpun menginginkan aku dan semua hambanya untuk menghormati takdirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar