Telah aku tanamkan arti dari sebuah kata “penghormatan”. Kata-kata ibu selalu terngiang di telingaku.
“Hormatilah orang-orang yang telah berjasa bagimu nak”.
Dilihat
dari kacamata orang tuaku, aku adalah anak penurut, anak yang selalu
patuh akan semua perintah dan aku anak yang selalu tegar dan mengerti
keadaan.
Ketidak
cukupan ekonomi memaksaku untuk menggantungkan hidup dengan orang lain.
“Aku harus menggapai cita-cita yang tinggi”, kemauanku untuk
melanjutkan sekolah menegah ataspun sangatlah besar. Alangkah senangnya
ketika salah seorang dari kerabatku menawari aku untuk sekolah di kota
metropolitan Jakarta, tanpa berpikir panjang aku dan kedua orangtuaku
setuju atas tawaran itu.
Disinilah
aku mulai mengerti akan arti hidup yang sesungguhnya demi mengejar
cita-cita yang luhur aku harus mengorbankan masa remajaku untuk ribuan
pengetahuan yang siap menerpa otak kosongku, aku luruskan niat untuk
masa depan yang aku idam-idamkan. kebutuhan lahiriahku di kota
metropolitan ini terpenuhi dengan baik bahkan sangat baik jika
dibandingkan dengan keadaan keluargaku.
Aku
hidup dengan orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru negri ini.
Mereka sama seperti diriku, mencari titik terang dari kehidupan yang
fana ini. Kami hidup bersama didalam rumah besar diantara gedung-gedung
pencakar langit. Dirumah besar inilah aku dan teman-temanku menjalani
hidup yang biasa bahkan kehidupan yang luar biasa. Jarak antara aku dan
keluargaku sangatlah tidak dekat, komunikasi yang terbatas kadang
menjadi pemicu perang batin yang sering menjadi warna-warni kehidupanku.
Kulakukan kegiatan positif untuk menghibur batinku, bahkan kualunkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk mengobati rasa rindu. Tapi tetap saja
tidak berpengaruh sedikitpun bagiku apalagi syair ataupun puisi.
Takdir
yang telah tergaris mempersulit untukku menghembuskan nafas kepuasan.
Saat kata penghormatan itu harus aku praktikan disini, di kota
metropolitan yang aku pijaki ini. Sering aku menumpahkan air mata karna
kegalauan hidupku, sering aku mendapatkan masalah dengan teman-temanku
di tempat aku menuntut ilmu, bahkan sering aku mendapatkan perlakuaan
tidak baik, dimusuhi oleh orang-orang yang aku hormati. Ingin sekali aku
berteriak, ingin sekali aku obrak-abrik takdir ini, ingin sekali aku
melepas beban berat yang selama ini aku pikul. Dunia ini memeng tidak
adil aku harus menghormati dan menyayangi orang-orang yang sama sekali
tidak menyayangi aku. Ingin di hargai tapi tak pernah menghargai aku,
beruntung aku hidup di rumah besar ini mereka yang mengerti dan
menyanyangi aku ditengah keadaan aku tersungkur.
Kepedihan
hidupku selalu datang bertubi-tubi, selain dari kota metropolitan ini
kepedihan juga datang dari keluargaku yang sangat aku hormati. Ayahku
jatuh sakit, entah virus apa yang tega menembus raga ayahku sehingga
ayah harus berhenti bekerja. Demi membiayai kedua adik-adikku yang masih
duduk dibangku sekolah dasar dan menengah, terpaksa ibu yang harus
menggantikan ayah banting tulang. Ia harus keliling kampung mendatangi
satu-persatu rumah hanya untuk menawarkan masakan yang ibu buat di pagi
buta, miris aku melihat keringat ibu mengalir diwajah keriputnya.
Apa
guna aku hidup di dunia ini, jika kalau keberadaanku tidak berguna
sedikitpun untuk mereka. Ingin aku mengukir senyum yang terindah diwajah
mereka. Mungkin ditengah keadaan inilah aku harus belajar arti dari
kata penghormatan yang sesungguhnya. Selain harus menghormati manusia,
Tuhanpun menginginkan aku dan semua hambanya untuk menghormati
takdirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar